16 August 2011

Mumpung masih gadis, manfaatkan ramadhan kali ini !!!


Entah sejak kapan terpikirkan bahwa saat ini adalah saat-saat dimana saya benar-benar harus bersyukur.  Tanpa mengesampingkan apa lagi menyurutkan keinginan menjadi pengikut Rasulullah secara utuh dengan menggenapkan setengah dien, alias menikah. Hanya saja, dalam kondisi ramadhan kali ini saya benar-benar berfikir bahwa ada banyak hal yang harus saya syukuri dan tak boleh sama sekali lengah, karena bisa jadi ini adalah tahun-tahun terakhir dimana saya akan melaksanakan ramadhan secara mandiri sendiri, belum terikat kewajiban lain jika nanti telah terikat status “istri”. Tentu saja ada banyak keutamaan dalam menikah, dan saya pun tak ingin ketinggalan keutamaan-keutamaan tersebut.  Tapi ketika memasuki bulan ramadhan rasanyaaaa,,hmmm sangat ingin lebih banyak berkhalwat dengan Allah. itu saja. Dapatkah waktu-waktu istimewa seperti ini tercapai kala memasuki medan jihad yang baru?  Nah! Inilah yang sedang saya persiapkan, salah satu factor kuat mengapakah saya tak ingin terlewatkan ramadhan kali ini mumpung masih gadis. Sampai-sampai bela-belain nambah-nambahin factor biar “dapet” nya jadi telat, dan alhasil dapat melaksanakan shaum wajib ramadhan full 30 hari.


Okelah mari di list kenapa eh kenapa si saya malah merasa kalau nanti setelah menikah kenikmatan ramadhan kala status sedang perawan berbeda dengan kenikmatan ramadhan kala status telah berkawan, alias jadi istri orang. 

Pertama-tama saya pengen ngelist daftar golongan-golongan yang mendapatkan keringanan puasa (atau boleh untuk tidak berpuasa dengan syarat).  

·         Yang pertama adalah, Orang sakit yang tidak memungkinkan untuk menjalankan puasa diperbolehkan untuk tidak berpuasa dengan syarat qodha atau fidyah.       Yang kedua, adalah orang yang sedang berada dalam perjalanan (musafir) memiliki keringanan untuk tidak berpuasa dengan syarat mengganti  hari bolong puasa (qadha).   Yang ketiga adalah uzur dengan syarat membayar fidyah (*jika mampu).    Sedangkan yang keempat adalah Ibu hamil dan menyusui, yang diperbolehkan untuk tidak berpuasa dengan syarat menggati puasa dan atau membayar fidyah jika memiliki keraguan diantara keduanya.

Nah mari kita fokuskan kearah kewanitaannya, alias keringanan bagi wanita untuk tidak berpuasa ketika hamil dan menyusui. Dan dalam selingan mari kita berhitung! J . Dari beberapa sumber yang dibaca, salah satunya yang cukup representative untuk membahas tentang keringanan berpuasa bagi wanita hamil dan menyusui ada pada page : http://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/3085-perselisihan-ulama-mengenai-puasa-wanita-hamil-dan-menyusui.html

Disimpulkan bahwa seorang wanita yang menyusui dan hamil diperbolehkan untuk tidak berpuasa, mereka cukup mengqodho’ tanpa menunaikan fidyah karena kuatnya dalil yang disampaikan oleh ulama yang berpegang dengan pendapat ini. Kondisi ini berlaku bagi keadaan wanita hamil dan menyusui yang masih mampu menunaikan qodho’. Dalam kondisi ini dia dianggap seperti orang sakit yang diharuskan untuk mengqodho’ di hari lain ketika ia tidak berpuasa. Namun apabila mereka tidak mampu untukk mengqodho’ puasa, karena setelah hamil atau menyusui dalam keadaan lemah dan tidak kuat lagi, maka kondisi mereka dianggap seperti orang sakit yang tidak kunjung sembuhnya. Pada kondisi ini, ia bisa pindah pada penggantinya yaitu menunaikan fidyah, dengan cara memberi makan pada satu orang miskin setiap harinya.

Catatan penting yang perlu diperhatikan bahwa wanita hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa jika memang ia merasa kepayahan, kesulitan, takut membahayakan dirinya atau anaknya. Al Jashshosh rahimahullah mengatakan, “Jika wanita hamil dan menyusui berpuasa, lalu dapat membahayakan diri, anak atau keduanya, maka pada kondisi ini lebih baik bagi keduanya untuk tidak berpuasa dan terlarang bagi keduanya untuk berpuasa. Akan tetapi, jika tidak membawa dampak bahaya apa-apa pada diri dan anak, maka lebih baik ia berpuasa, dan pada kondisi ini tidak boleh ia tidak berpuasa.



Dan sekarang mari kita hitung-hitungan! 

Ketika seorang wanita menikah pada umur 25 tahun.  Kemudian wanita tersebut dilimpahkan rezeki oleh Allah dengan mengandung seorang atau lebih anak, maka pada bulan ramadhan nya di usianya yang ke 26 tahun terdapat dua kondisi yang memperbolehkannya untuk tidak berpuasa dengan syarat menyusui dan atau dalam keadaan nifas  (dalam arti ada kondisi yang harus diantisipasi untuk tidak berpuasa di bulan ramadhan). Kemudian, pada tahun berikutnya hingga dua tahun ke depan wanita tersebut tetap mendapatkan keringanan untuk tidak berpuasa karena menyusui. Nah! Itu jika baru memiliki 1 anak, bagai mana jika wanita tersebut dikaruniai Allah anak yang banyak? Otomatis pengulangan-pengulangan rukhsoh tersebut akan terjadi. 

Untuk menqadha puasa sendiri, sering kali akan sulit terlaksana karena dalam usia menyusui seorang anak biasanya minimal sampai 2 tahun. Dalam artikata, selama dua tahun tersebut sang wanita memiliki “kesulitan” pula untuk mengqadha’ puasanya. 

Kemudian ketika masa-masa melahirkan telah berakhir, missal dalam hitungan umur 32 tahun seorang wanita sudah sulit untuk kembali hamil. Maka kesibukan yang terjadi tidaklah berkurang, malah semakin bertambah. Ok, jika misalnya sang wanita sudah tidak termasuk golongan yang mendapatkan keringanan untuk berpuasa, tetapi kesibukannya dalam rumah tangga akan sangat menyita waktunya untuk lebih banyak berkhalwat dengan Allah (meskipun dalam arti lain ini pun adalah ibadah dan jihad bagi seorang ibu, tapi tetap saja memiliki suasana yang berbeda). 

Lalu kemudian ketika kesibukan rumah tangga sudah mulai menurun, dikarenakan anak-anak sudah mampu mandiri. Sang wanita sudah memasuki masa menopose, uzur dan sakit-sakitan yang otomatis membuatnya menjadi kandidat golongan orang-orang yang mendapatkan keringanan dalam berpuasa.

Nah tuh kan! Nyerocos kayak ginian udah makan kertas dua lembar…

Lanjut yah, soalnya belum terlalu menyentuh ke pokok kejanggalan hati saya. Islam itu mudah dan memudahkan, seperti dalam ayat Allah “Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. 2:185), olh karenanya itulah banyak kemudahan yang justru didapat ketika kita beribadah kepada Allah. Tapi justru karena inilah saya merasa bahwa, saat-saat saya masih menjadi seorang gadis lah, adalah saat-saat dimana saya merasa sangat dekat dengan Allah secara personal, belum lagi secara social karena ketika telah memiliki title seorang “istri” otomatis saya akan memiliki banyak embel-embel di belakang, suami, anak, dll.

Makanya karena saya belum menikah kala ramadhan kali inilah saya bersyukur sesyukur-syukurnya. Sebelum menapaki masa dimana saya harus lebih banyak mengelola jiwa, sekarang saya masih memiliki waktu untuk lebih banyak bermanja kepada Allah, tanpa harus memikirkan hal-hal sekunder yang sebenarnya primer (ah baca : suami atau anak). Bukannya pula tak mungkin tuk beribadah ketika telah menikah, kita semua tahu bahwa dengan menikah banyak hal yang sebelumnya haram justru malah jadi berkah dan ibadah, maka tak patut pula jika tak disyukuri. 

Tapi sungguh! Saya malah sangat bersyukur ketika saya sedang berada dalam kondisi sekarang, dimana amalan harian yang ditargetkan begitu tinggi ternyata mampu tercapai dalam hitungan hari. Coba kalo sudah jadi istri, apakah tilawah harian dua atau tiga juz mampu tercapai dengan mudah? Jawabannya sangat sulit, ini pun menurut salah seorang senior saya yang dulunya adalah seorang aktifis dakwah yang mengatakan bahwa ketika memiliki suami dan anak maka waktu kita akan lebih banyak tersita untuk mereka (saya sangat tidak meremehkan tugas seorang istri, makanya saya sangat salut dengan seorang istri yang mampu menjaga amalan yauminya masih diatas targetan standar).

Dan satu lagi, out of the topic sihh…hahha salah satu alas an kenapa saya bersyukur ramadhan kali ini saya masih belum memiliki suami dan anak adalah…. Tidak adanya kewajiban menyediakan makanan sahur!!! Hehe jadi klo mau sahur ya seenaknya perut aja. :p

Anyway, apapun masanya.. ladang dakwah dan amal itu tersebar luas. Ketika masih belum ataupun telah memiliki suami, maka titik-titik ibadah akan berubah dengan sendirinya dan terganti pula dengan sendirinya. Tak ketakutan kehilangan ladang amal, hanya ingin menikmati suasana seperti ini lebih dalam lagi. Mumpung belum ada kondisi yang mengubah nuansa ibadah ramadhan nanti. Hu huh u… lagipula, dengan seperti ini saya jadi benar-benar sadar untuk mempersiapkan fisik dan mental tuk memasuki ramadhan dengan status seorang istri.
Wallahu’alam bishowab.. ^^



No comments:

Post a Comment