05 January 2011

Dilbar Dilara mu...

Temaran malam jadi saksi setengah gulita, ketika mala mini aku kembali mencoba meraba ukiran kenangan dan rasa pada relung-relung berwarna di sudut jiwa. Menyentuhnya dalam setiap micrometer perubahanya. Menafsir gurat dan yang tergerat di lembar bahasanya .

Inilah cinta yang telah kupaham maknanya. Ku mengerti apa inginnya. Pun pula sangat ingin kuturuti tiap desah kemauannya. Aku ingin, sangat ingin. Pun pula malu, amat sangat malu. Ingat khilaf kuturuti nafsu karena cintaku. Aku tahu apa inginmu, tapi itu dulu. Saat aku tak terpengaruh ucapanmu. Sayangnya begitu. Seakan waktu melambat. Kian terserak seperti rambut-rambut rontok yang berontak. Dan kini semua sama. Semua begitu berbeda. Aku pilu dalam rindu kelu di ruang kalbu yang tersayat cemburu. Dan kau pergi seolah tak pernah lagi peduli apakah aku akan bertahan dalam hidup atau mati. Berjalan angkuh menjauhkan diri, seakan merasa menang telah menaklukan hati. Meninggalkan aku yang terpuruk sendiri, meringis mengiris tangis memegangi hati. Menunggu bunga yang kau tawarkan harumnya namun tak kau berikan wujudnya, yang tersisa hanya getah lengketnya yang bernoda. Hingga air mata pun sudah tak mampu lagi menjadi pengurai kata. Aku meringis pilu, bisu.

Aku tahu aku bukanlah seorang lemah yang tak mampu membuang hati dengan rasa yang telah kau toreh warna. Yang telah kau rekat dengan getah lengket bernoda yang sungguh membuatku begitu kepayahan mengartikan harum bungamu. Kau tahu? Jemariku mampu menghapus ukiran namamu di dinding benderang berwarna merah jambu itu, merobek dan membuangnya dalam tempat sampah untuk kemudian kubakar bersama sumpah serapah hingga abunya beterbangan tertiup angin kelegawaan. Menghancurkan dinding-dinding yang penuh lukisan wajahmu berkeping-keping menjadi puing-puing berpasir tak bermakna. Mencabik-cabik lembar-lembar hari yang dulu kau semat kata-kata manis beraroma cinta. Ketahuilah! Aku mampu, sungguh aku mampu..!

Namun jangan paksa aku untuk melakukan semua itu. Kumohon! Bukankah tak ada satupun pintaku yang pernah kau Kabul melainkan karena paksa dariku? Kali ini kumohon padamu jangan paksa aku untuk melakukan itu. Ataukah aku yang harus memaksamu untuk tidak memaksaku? Maka kumohon dengan sangat, jangan pernah memaksaku untuk menghapus namamu dari relungku. Menghancurkan lukisan wajahmu dalam dinding sanubariku. Mengoyak lembar kenangan yang kau ukir dengan kalimat rindumu. Sekalipun hatiku mampu namun nuraniku menolak, tak mau lakukan itu.

Karena dalam serpih hati ku.. masih ada harap, namaku tersimpan rapat dalam ruang rahasia di dadamu, lukisan wajahku menghiasi dimensi hatimu, puisis-puisi rinduku menjadi cahaya-cahaya yang menghangatkan dan memeluk jiwamu…suatu saat di waktu yang mengabadi aku lah yang akan bertahta, menjadi debaran hati kekasih bagimu, dilbar dilara mu..dan itu aku..

No comments:

Post a Comment