Islamic Book Fair Bandung, you know what is that!! A great event.. All the things goes so great till that thing happened!! Sebuah kejadian yang penuh hikmah (*dalam ruang positif thingking saya tentu saja.. ^^’). Bukan kejadian yang sangat menge
jutkan dan besar atau harus di besar-besarkan memang, tapi bisa menjadi sebuah pembelajaran yang hmm, akan saya ingat sepanjang hidup. Apa lagi jika ternyata tulisan ini sudah saya post dalam blog pribadi sebagai “tempat sampah” setia. Hehe..!!
Kemeriahan pameran buku islami yang diselenggarakan oleh Pemprov Jabar dan IKAPI Jabar benar-benar mengguncang semangat para penerbit untuk menjual seluruh buku yang dimiliki oleh mereka. Tak terkecuali sebuah penerbit yang cukup ternama di Bandung untuk memasarkan produknya di setiap stand. Di stand itu pulalah, kebetulan pada saat yang sama penulis besar “Habiburrahman El Shirazy” pun hadir disana untuk memberikan tanda tangan dan foto bareng “gratis”. Dan jujur saja, saya dan salah seorang sahabat saya tertarik untuk mendatangi dan membeli buku baru beliau yang sedang promo dengan harga yang cukup murah dibandingkan dengan tawaran pasaran. RP. 40.000 dari harga biasa Rp. 55.000. dengan senyum lebara saya mengeluarkan uang kertas berwarna merah Rp. 100.000 hasil kerja keras saya membanting tulang mengajar beberapa anak-anak bandel, hehe! dan dengan senyum lebar pula saya memberikan uang tersebut kepada teteh yang sedang menjaga stand tersebut. Kembalian berupa uang biru Rp. 50.000 dan uang berwarna merah keunguan Rp. 10.000, disambut dengan senyum lebar saya pula. Tapi setelah itu senyum yang saya lemparkan menjadi terasa lebih berbeda, karena sesuatu hal.
Stand penerbit tersebut ternyata menjual novel yang ditulis oleh teman saya satu fakultas. Otomatis, saya dengan segala kehebohan saya tiba-tiba terstimulus untuk membeli buku tersebut. Masih dengan senyum lebar, saya akhirnya membeli buku teman saya tersebut dengan harga Rp. 15.000. Dan dengan senyum lebar itulah saya mengeluarkan uang biru saya, Rp. 50.000. hehe! Soalnya uang yang saya punya hanya uang Rp. 50.000 itu dan selembar lagi uang Rp. 10.000.
Menunggu kembalian, saya mengobrol dengan sahabat saya. Tak beberapa lama, sang penjaga stand bertanya “mbak, punya 5 ribu?” saya pun menjawab, “enggak, mba’..”. menunggu beberapa lama lagi, dan kembalian uang saya yang seharusnya sejumlah Rp.35.000 masih belum berada di tangan saya. Sambil menunggu kembalian lagi saya meneruskan obrolan dengan sahabat saya. Tak beberapa lama kemudian sang penjaga memberikan uang Rp. 5000. Saya menerimanya dengan senyum lebar, dan karena masih belum ada kembalian saya yang Rp. 30.000, maka saya masih menunggu. Setelah beberapa lama, saya bingung kenapa sang penjaga stand malah duduk dan tidak mengembalikan uang saya. Akhirnya saya bertanya “mba’, uang yang Rp. 30.000 kembalian saya nya masih belum kan?” saya akhrinya bertanya untuk mengingatkan kembali. Tiba-tiba sang penjaga berkata “lho, uangnya mba’ Rp. 20.000 mba’…” saya kembali tersenyum “Rp. 50.000, mba’…” tiba-tiba 2 orang penjaga di stand tersebut ikut memperkuat sang penjaga yang tadi mengembalikan uang saya “tadi uangnya Rp. 20.000 kok mba’, saya juga lihat..”. Dahi saya mulai berkerut, “kok bisa?!tadi saya yakin memberikan uang Rp. 50.000 karena itu ang kembalian dari pembelian buku yang pertama mab’, jadi gak mungkin saya ngasih uang Rp. 20.000” . dan 3 penjaga stand tersebut pun masih keukeuh dengan pendapat mereka , sekeukeuh saya dengan logika mata dan kondisi keuangan saya yang juga tidak seberapa. Rp. 30.000 itu tidak sedkit…!!
“Wah, kita harus melakukan rekapitulasi dulu mba’ buat tahu apa bener uang mba’ itu Rp. 50.000, klo rekap uang itu lebih maka kita akan ngasih uang mba’..klo enggak ya kita gak bisa berbuat apa-apa..” kata salah seorang penjaga stand tersebut. Sebuah kebijakan yang tidak adil menurut saya, (*as you know, Kang abik ngeliatin kita gituh..!!) dengan berusaha tetap tersenyum saya pun mengusahakan diri untuk tidak terlalu ngotot, uang mah bisa dicari tapi dengan kondisi yang seperti itu saya terkesan sebagai seorang yang tidak jujur mungkin ini yang jadi pengganjal di hati saya. Dalam hati ingin keukeuh, tapi saya tidak mau terkesan ngotot hanya demi uang. Akhir nya saya menyetujui hal tersebut, besok saya kembali untuk mengecek hal tersebut. Saya pergi meninggalkan stand tesebut, masih dengan senyum.. tapi kali ini terpaksa dan cukup berat karena uang Rp. 30.000 bagi saya bukanlah uang yang sedikit.
Dan dengan senyum itu pulalah saya pulang, dan bertekad besok kembali lagi ke IBF, stand yang sama. Kembali dalam ruang positif thinking saya, saya menunggu hikmah dan cerita apa yang sedang ingin Allah ceritakan untuk saya, sampai-sampai saya harus kembali ke tempat ini besok. Okay!! We’ll see tomorrow..
Besoknya,
Dengan niat membaja saya kembali ke stand tersebut, “kejujuran harus di tegakkan!” mungkin begitu tekad saya. Dan dengan semangat yang membara pula lah saya dan sahabat yang juga kemarin terlibat dalam insiden tersebut kembali mendatangi stand tersebut. Okay! We’ll see then..! what will gonna happen..apakah memang rekapitulasi uang mereka membuktikan bahwa aya benar atau mereka salah. Sebenarnya saya sudah siap dengan kemungkinan bahwa rekapitulasi keuangan mereka tidak akan surplus Rp. 30.000. karena dengan kondisi lapangan saya melihat bahwa stand ini kurang tertib dalam masalah pembayaran, apalagi pembeli yang berminat pu tidaklah sedikit. Dan ini akan cukup membuyarkan konsentrasi penjaga stand dalm mengontrol pembayaran. Di ambah lagi satu pint penting, tidak adanya kasir atau mesin kasir yang bertugas merekapitulasi semua keuangan secara cepat, teratur, dan otomatis. Semua terkesan “riweuh”.
Dan benar saja. Sesampainya di stand tersebut dan kembali mempertanyakan tentang uang saya, penjaga stand tersebut berkata “Maaf mba’, bukannya kita tidak mau mengembalikan uang mba’. Tapi ternyata kita tidak menemukan kelebihan uang tersebut. Malah yang terjadi adalah kekurangan di rekapitulasi keuangan kita..”. dengan senyum lebih lebar, saya berkata “kita bela-belain kemari kan buat bukti’in klo kita yakin kita benar, dengan menyerahkan uang Rp.50.000 ke stand ini..tapi,kok?”. Bapak tersebut masih tetap dengan pendapatnya bahwa saya menyerahkan uang Rp. 20.000. Akhirnya teman angkat bicara, “ teman saya kemarin kan hanya membawa uang Rp. 100.000, kemudian membeli buku di sini Rp. 40.000 dengan uang kembalian Rp. 60.000, selembar uang Rp. 10.000 dan selembar lagi Rp. 50.000. kemudian kita kembali ke stand ini untuk membeli beberapa buku lagi. Kemudian tema saya berniat membeli buku yang harganya Rp. 15.000. karena uangnya hanya ada yang Rp. 10.000 dan Rp. 50.000, maka dia mengeluarkan uang Rp. 50.000 untuk membayar. Karena memang dia tidak punya uang Rp. 20.000. darimana dia punya uang Rp. 20.000??.” dengan lantang sahabat saya berusaha membela kebenaran yang kita yakini. Dan si bapak penjaga stand tersebut msih bersikukuh dengan argumennya bahwa, saya hanya memberikan uang Rp. 20.000 dan mereka tidak bisa mengabulkan tuntutan kami karena kondisi keuangan mereka pun sedang defisit. Akhirnya saya mengikhlaskan Rp. 30.000 uang saya, dengan berusaha memberikan kritik kepada stand tersebut. Saya berkata “Ya sudah, Allah tidak akan membuat hambaNya miskin seketika karena sebuah insiden Rp. 30.000” sambil menepuk pundak sahabat saya mengisyaratkan kita sebaiknya berlalu dan kembali berujar kepada bapak tersebut “Lain kali klo jaga hati-hati ya pak, jangan sampe dzalim..” tentu saja masih dengan senyum yang tidak lepas, dan jujur saja saya cukup kesal meskipun senyum tidak pernah lepas dari bibir saya. Ternyata bapak tersebut membalas perkataan saya dengan berkata “ Owh iya, tentu! Mba’ juga lain kali hati-hati ya! “ dengan nada sedikit sewot. Dalam hati saya hanya tersenyum meskipun tidak memungkiri bahwa saya cukup gondok dengan ketidakprofesionalitasan ini. Saya rugi secara materi, semoga anda tidak rugi secara moral karena secara materi anda sudah cukup rugi dengan defisitnya rekapitulasi keuangan anda, semoga uang Rp. 30.000 saya yang masih berada di dalam kas anda tidak menjadi pemicu ketidakberkahan ikhtiar yang anda lakukan dengan usaha anda. Satu-satunya yang bisa saya lakukan hanyalah, tersenyum, ikhlas dan kembali berusaha mencari uang..hehe! karena kalau saya ingin “ngomel” dan marah-marah, saya bisa saja berkata “Dengan defisitnya rekapitulasi keuangan anda terbukti jelas bahwa kesalahan ada di tangan anda. Dengan ketidakprofesionalitasan system keuangan anda. Seharusnya anda sebagai seorang yang berkecimpung di dunia jual beli seharusnya memiliki standar keuangan dan profesionalime kerja yang baik. Dan seharusnya pula anda tahu bahwa ini adalah pameran yang dikunjungi oleh ribuan orang yang mungkin dari ribuan orang tersebut dating ke stand anda dan resikonya adalah kesibukan yang luarbiasa yang mampu memicu ketidak konsntrasi an pada keluar masuknya barang yang dijual ataupun yang dibeli. Anda seharusnya sudah mengantisipasi hal ini dengan memberlakukan system keuangan/ pembayaran yang efektif di stand anda. Bukankah hal tersebut akan memeinimalisir kesalahan transaksi yang terjadi? Sehingga tidak ada yang akan didzalimi, baik itu anda maupun orang lain.” Tapi mungkin omelan ini cukup terwakili di posting blog ini saja. ^_^v
Ini lah kenapa saya sering berkata bahwa “kebenaran itu belum tentu terlihat, dan yang terlihat itu belum tentu benar”.tidak bermaksud bersikukuh atau berniat tidak ikhlas akan apa yang sudah terjadi. Tapi ternyata statement yang saya keluarkan itu memang benar adanya. Saya yang merasa melakukan kejujuran dianggap seperti “tidak jujur” karena memang tidak ada fakta yang kuat yang meyakinkan selain argument yang itupun masih harus membutuhkan saksi. Dan realita kekinian, kebenaran seringkali baru bisa dinyatakan sebagai sebuah kebenaran ketika sudah terlihat. Padahal kenyataannya yang terlihat sendiri pun belum tentu merupakan sebuah kebenaran. Akan sangat panjang bagi saya untuk saat ini mengupas tentang teori kebenaran yang ujung-ujungnya terkait dengan kenyataan bahwa dunia ini diselubungi oleh berbagai macam konspirasi terselubung. Terorisme yang selalu saja di identikan dengan muslimin, penyakit-penyakit modern Flu burung, flu babi dan sebagainya yang ternyata mutan dari virus influenza biasa, pola pikir remaja, dan sebagainya. Semua tak lepas dari yang namanya Konspirasi dunia. Tapi ini saja sudah cukup melebar, dan menghabis kan 2 lembar kertas HVS saya sehingga tidak mungkin saya lanjutkan ke Teori kebenaran dan konspirasi-konspirasi dunia. Hehe!!
Anyway, back toi topic. Ada banyak hal yang mampu saya ambil dari kejadian ini. Satu hal yang saya tekankan, sebenarnya tidak ada yang harus di persalahkan dalam kejadian seperti ini, karena hikmah tidak tersembunyi dibalik kebenaran atau kesalahan. Hikmah itu terhampar dan tersembunyi di balik setiap hembusan nafas, di setiap langkah kaki, di setiap gores senyuman, di setiap gerik dan laku, dimana-mana selalu terdapat hikmah yang terhampar hanya aja apakah kita mampu dan mau untuk sekedar berhenti sejenak dan merunduk atau memanjat sekedar memungut hikmah yang tercecer atau yang sedang bergantung di balik pohon keraguan dan tantangan..??
Minimal saya sudah punya tambahan foto bareng penulis besar 1 lagi. Yang pertama mba’ Asma Nadia dan yang kedua Kang Abik. ^_^ hoho!!
No comments:
Post a Comment